Adat Daerah Banyumasan






       Dalam kehidupan masyarakat Banyumasan, masih ada anggapan bahwa alam memiliki kekuatan yang dapat memberikan pengaruh bagi kehidupan mereka baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Oleh karena itu manusia melakukan pendekatan atau berkomunikasi dengan alam dengan melakukan sesaji, sesembahan, ritual-ritual, dan lain-lain dengan harapan alam bermurah hati memberi kesempatan kepada mereka untuk hidup lestari.

     Dalam rangka pendekatan tersebut manusia seringkali menggunakan media kesenian dalam upacara-upacara untuk mencapai tujuannya.
Melalui aktivitas seni inilah masyarakat Banyumasan melakukan ritual-ritual tertentu yang bermakna sebagai bentuk persembahan seluruh jiwa dan raga terhadap Sang Pencipta. Salah satu jenis kesenian yang keberadaannya berkaitan langsung dengan ritual tradisional adalah:

1. Cowongan.




       Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri yang merupakan dewi padi, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Melalui doa-doa yang dilakukan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan.

      Datangnya hujan berarti datangnya rakhmat Illahi yang menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia. Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata “cowong” ditambah akhiran “an” yang dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong, atau therok yang diartikan berlepotan di bagian wajah (Fadjar P. 1991:47). Perong, cemong, dan therok lebih bersifat pasif (tidak sengaja). Sedangkan cowongan lebih bersifat aktif (disengaja).

       Jadi cowongan dapat diartikan sesuatu yang dengan sengaja dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah yang dimaksud adalah wajah irus yang dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia (boneka). Salah satu daerah yang hingga saat ini masih melaksanakan ritual cowongan pada setiap kemarau panjang adalah masyarakat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas. Daerah ini terletak di ujung sebelah timur dari kabupaten Banyumas, kurang lebih 15 km di sebelah timur kota Banyumas, berbatasan dengan kabupaten Banjarnegara dan berbatasan dengan kabupaten Purbalingga.

       Di sebelah timur terdapat sungai kecil (kali Plana) yang menjadi batas desa tersebut dengan desa Karangsalam, kecamatan Susukan, kabupaten Banjarnegara. Sebelah utara dan barat dilingkari sungai serayu yang mejadi batas kabupaten Banyumas dan kabupaten Banjarnegara. Walaupun letaknya dekat dengan sungai, tetapi pada saat musim kemarau yang panjang, daerah ini sangat kering dan air sangat sulit untuk di dapat. Apalagi sebagian besar masyarakat di desa Plana bermata pencaharian sebagai petani.

       Lahan-lahan yang digarap meliputi lahan basah atau sawah, lahan kering berupa tegalan, serta tanah tadah hujan sehingga saat musim kemarau datang lahan ini sangat kering dan petani tidak dapat menggarap sawah mereka. Masyarakat di desa ini masih percaya, melalui ritual cowongan maka akan segera turun hujan yang sangat berguna agar sumur-sumur dan sumber mata air keluar lagi airnya, sawah dan ladang tidak lagi tandus, dan berbagai tanaman bersemi kembali bagi kelangsungan hidup mereka.
       
      Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir Mangsa Kapat (hitungan masa dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam Jumat, dimulai pada malam Jumat Kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya satu kali, tiga kali, lima kali atau tujuh kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan tiga kali. Jika dilaksanakan tiga kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak lima kali. Demikian seterusnya hingga turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat dijumpai di Desa Plana, Kecamatan Somagede.

2. Ujungan.




       Ujungan merupakan tradisi upacara adat Banyumasan (Kabupaten Banjarnegara) yang hampir sama dengan Cowongan, hanya saja acara ritualnya sedikit berbeda karena perbedaan letak geografis juga masyarakatnya, dimana tujuannya adalah untuk meminta hujan yang telah berumur lama tidak kunjung turun, sehingga melembaga dalam kehidupan masyarakat. Dalam tradisi ini, dua orang laki-laki dewasa berkelahi saling menyerang dengan sepotong kayu (Rotan). Darah pun akan menetes membasahi tanah sawah. Dengan tradisi ini diharapkan hujan akan segera turun.

      Upacara ini muncul dalam kultural masyarakat agraris di daerah Banyumas. Air pada saat musim kemarau, selalu menjadi rebutan petani bahkan sampai menyulut perkelahian. Hal ini tentu saja bisa mendatangkan kerawanan, sehingga membuat prihatin pemimpin desa. Dari keprihatinan ini muncul “petunjuk” untuk mengadakan Ujungan. Dalam upacara Ujungan, prosesi yang penting adalah selamatan dan ziarah ke makam Ki Ageng Giring dan demang pertama Gumelem. Di tempat itu dilakukan doa agar acara Ujungan keesokan harinya berjalan lancar, hujan segera turun dan kerukunan masyarakat (petani) tetap terjaga.

      Upacara yang pada awalnya bersifat ritual magis ini, dalam perkembangannya telah mengalami perubahan. Pada awalnya perkelahian bersifat spontan. Kemudian diatur, antara lain dengan melibatkan wasit, anggota tubuh mana saja yang boleh dipukul, pakaian dan pelindung tubuh yang dipakai, dan lain-lain. Bahkan dalam perkembangan lebih lanjut Ujungan bisa dijadikan atraksi budaya. Artinya bisa dilakukan kapan saja sepanjang ada permintaan. Sehingga ada dua macam Ujungan yaitu:

-  Ujungan yang bersifat sakral (untuk meminta hujan)

-  Ujungan sebagai pertunjukan.

3. Udhun-udhunan.




       Udhun-udhunan, yaitu upacara selamatan yang dilaksanakan pada setiap bulan Syawal di Makam Bonokeling, desa pekuncen, kecamatan jatilawang.

4. Unggah-unggahan.




      Unggah-unggahan, yaitu upacara selamatan yang dilaksanakan pada setiap hari jumat kliwon pada bulan Ruwah bertempat Makam Bonokeling, desa Pekuncen, kecamatan Jatilawang.

5. Baritan




       Baritan, yaitu upacara keselamatan ternak yang dilaksanakn setiap bulan sura di daerah Ajibarang dan sekitarnya melalui pementasan kesenian lengger.

6. Penjamasan Pusaka




      Penjamasan Pusaka, di daertah Banyumas ada 2 tempat yang melaksanakan upacara penjamasan pusaka, yaitu di desa Kalibening kec.Banyumas, dan sesa Kalisalak kec. Kebasen. Penjamasan Pusaka dilakukan tiap 12 Mulud dalam hitungan aboge.

7. Rajaban & Pembuatan Pager Jaro




      Rajaban & Pembuatan Pager Jaro di masjid Saka Tunggal Cikakak Wangon, dilakukan prosesi pembuatan pager jaro yang mengelilingi seluruh kompleks masjid, dilaksanakan setiap tanggal 27 Rajab dalam hitungan aboge, mundur satu hari dari hitungan tahun Hijriyah.

8. Suran.




       Suran, Hampir semua masyarakat Banyumas mengenal upacara Suran. Yaitu upacara tradisional sedekah bumi yang ditujukan untuk tujuan Tolak Bala dengan cara bermacam-macam seperti ruwat bumi, upacara selamatan dimakam leluhur & lain-lain.

9. Sadranan.




      Sadranan, sebagaimana Suran hampir semua masyarakat Banyumas mengenal Sadranan, yaitu prosesi bersih kuburan yang dilanjutkan dengan kenduren. Sadranan adalah suatu bentuk upacara mengenang arwah leluhur dengan cara membersihkan makamnya menjelang pelaksanaan pelaksanaan puasa di Bulan Ramadhan.

     Itulah hukum adat daerah banyumasan yang masih di lestarikan di berbagai tempat, apabila ada kekurangan kami meminta maaf yang sebesarnya dan semoga bermanfaat. 



Previous
Next Post »
Thanks for your comment